Jakarta, Rakyatsulteng – Perpecahan partai koalisi pemerintah pada periode kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi) diprediksi bakal terjadi. Pecah kongsi partai pendukung sesuatu yang tak terhindarkan memasuki tahun kedua sebuah pemerintahan.
Perbedaan sikap antara partai koalisi pendukung Jokowi sudah terlihat dalam rencana revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Golkar dan NasDem mendorong revisi dilakukan dan salah agenda utamanya menggeser pilkada menjadi 2022 atau 2023. Sementara PDIP, motor utama koalisi, menolak revisi UU tersebut dan meminta semua pihak fokus dalam penanganan pandemi virus corona.
Jokowi bahkan mengumpulkan sejumlah mantan anggota tim kampanye Pilpres 2019 dari beberapa partai politik.
Dalam pertemuan itu, Jokowi ingin agenda Pilkada Serentak 2024 dipertahankan seperti diatur UU Pemilu dan Pilkada yang masih berlaku saat ini. Mantan wali kota Solo itu tegas menolak revisi UU Pemilu yang diusulkan DPR.
Usai pertemuan itu, sikap Golkar dan NasDem melunak. Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum NasDem Surya Paloh meminta kadernya di Senayan menghentikan pembahasan revisi UU Pemilu.
Meskipun demikian, Wakil Ketua DPR yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Azis Syamsuddin menegaskan UU Pemilu dan UU Pilkada perlu segera direvisi. Dia yakin revisi UU Pemilu dan Pilkada tersebut bisa meningkatkan kualitas demokrasi.
“Suara-suara kritis terhadap pemerintah dan presiden, akan bermunculan (dari partai koalisi). Itu alamiah. Kutukan periode kedua pemerintah,” kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, Rabu (17/2).
PDIP Untung, Golkar Buntung